Jumat, 15 Juli 2011

HUKUM ORANG MENINGGALKAN SHALAT

HUKUM ORANG 
MENINGGALKAN SHALAT
] Indonesia [
حكم تارك الصلاة

MUHAMMAD BIN SHALEH AL-‘UTSAIMIN
محمد بن صالح العثيمين

Penerjemah : M. YUSUF HARUN, MA
ترجمة: محمد يوسف هارون

 

Murajaah :
MUHAMMADUN ABD HAMID, MA
DR.MUH.MU’INUDINILLAH BASRI, MA
FIR'ADI NASRUDDIN ABDULLAH, LC
ERWANDI TARMIZI

Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
 المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض
1428 – 2007










PENDAHULUAN



اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ. أَمَّا بَعْدُ:
Segala pujian hanya milik Allah Ta'ala kita memuji-Nya, meminta pertolongan,memohonkan ampunan dan bertaubat kepada-Nya.Kita memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan dari keburukan amalan-amalan yang telah kita perbuat.Barang siapa yang telah mendapatkan hidayah Allah, maka tak seorangpun yang dapat menyesatkan jalannya dan siapa yang telah disesatkan-Nya maka tiada seorangpun yang mampu memberikan sinar petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi bahwasanya tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya, semoga shalawat dan salam Allah sentiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga dan sahabat-sahabatnya dan siapa yang mengikutinya dengan baik hingga akhir zaman, amiiin.

Wa ba'du:
Sungguh, banyak di antara kaum muslimin sekarang ini yang meremehkan masalah shalat dan melalaikannya, dan bahkan ada yang meninggalkannya sama sekali,  karena menganggapnya hal yang sepele.
Oleh karena masalah ini termasuk salah satu masalah besar, yang melanda umat pada saat ini, dan menjadi ajang perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan para imam mazhab dari dulu hingga kini, maka penulis ingin memberikan sumbangsihnya dalam permasalahan tersebut melalui tulisan yang sederhana ini.
Pembicaraan tentang masalah ini akan diringkas dalam dua bahasan:
Pertama : hukum orang yang meninggalkan shalat.
Kedua: konsekwensi hukum karena riddah (keluar dari Islam), disebabkan karena meninggalkan shalat, atau sebab lainnya.
Semoga Allah subhaanahu wa ta’aala dengan taufiq-Nya menunjukkan kita semua kepada kebenaran.

1

HUKUM
ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT

Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.
Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya
 (terserah) kepada Allah.” (QS. As Syuura: 10).

Dan  Allah juga berfirman: 
"jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
 kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An Nisa : 59 
oleh karena masing-masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing-masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu di antara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, maka akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.

Pertama : Dalil dari Al-Qur'an:
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah ayat 11:

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS. At Taubah: 11).
     Dan dalam surat Maryam ayat 59-60, Allah berfirman:

“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).

Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya: "kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan orang-orang musyrik telah menentukan tiga syarat:
·   Hendaklah mereka bertaubat dari syirik.
·   Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan
·   Hendaklah mereka menunaikan zakat.
Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.
Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama kita.
Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.
Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat qishash karena membunuh:

“Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) .” (QS. Al Baqarah: 178).

Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa: 93).

Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang:

“Dan jika ada dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil, sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…”. (QS. Al Hujurat: 9).

Di sini Allah subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

)) سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ((
“Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”


Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman.
Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya (yang tidak menyebabkan keluar dari Islam) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.
Jika ada pertanyaan: Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?
Jawabnya adalah: Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah.
Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan di bagian akhir hadits:
(( ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ ))
“ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”

Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab: “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.
Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata ia menjadi kafir, maka tidak akan ada jalan baginya menuju surga.
Dengan demikian manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum (yang tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum.


KONSEKWENSI HUKUM KARENA RIDDAH YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA

Ada beberapa kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena riddah (keluar dari Islam):

Pertama :Konsekwensi Hukum Yang Bersifat Duniawi  : 

1-           Kehilangan haknya sebagai wali.
Oleh karena itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan wali untuk anak-anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang berada dibawah kewaliannya.
Para ulama fiqh kita -Rahimahumullah– telah menegaskan dalam kitab-kitab mereka yang kecil maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata: “Tidak sah orang kafir menjadi wali bagi seorang wanita muslimah”.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran, kemurtadan dari Islam.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri …” (QS. Al Baqarah: 130).

2-   Kehilangan haknya untuk mewarisi harta kerabatnya.
Sebab orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ ))
“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim”. (HR.Bukhari dan Muslim).

3-   Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haram.
Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala:

“Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang- orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini …” (QS. At Taubah: 28).

4-   Diharamkan makan hewan sembelihannya.
Seperti onta, sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), adapun orang murtad, paganis, Majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.
Al Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan: “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik seperti kaum musyrikin Arab, para penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai al kitab, haram hukumnya.”
Dan Imam Ahmad mengatakan: “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain demikian, kecuali orang-orang ahli bid’ah.”



5-   Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.
Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala:

“Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik”. (QS. At Taubah: 84).
Dan firman-Nya:

 “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang- orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahim, dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu, tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka berlepas diri darinya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At Taubah: 113-114).

Do'a seseorang untuk memintakan ampun dan rahmat bagi orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam do'a, dan merupakan suatu bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan terhadap tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman.
Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendo'akan orang yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi ampunan dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah? 
Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala:

“Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, Malaikat malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuhnya orang-orang kafir”. (QS. Al Baqarah: 98).

Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh orang-orang yang kafir. Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir, karena 


firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya:
 “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (QS. Az Zukhruf: 26 –27).
Dan firman-Nya:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja …” (QS. Al Mumtahanah: 4).
Untuk mencapai derajat demikian adalah dengan mutaba’ah (meneladani) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


 Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”. (QS. At Taubah: 3).

6-   Dilarang menikah dengan wanita muslimah.
Karena dia kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma’.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka, Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka …” (QS. Al Mumtahanah: 10).

Dikatakan dalam kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592: “Semua orang kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama, bahwa wanita-wanita dan sembelihan-sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita-wanita yang murtad (keluar dari Islam) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan bisa dihalalkan.” (Seperti; wanita yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent).
Dan disebutkan dalam bab “orang murtad”, jilid 8, hal 130: “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”
Sebagaimana diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki-laki yang murtad.
Dikatakan pula dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298: “Apabila salah seorang dari suami istri murtad sebelum si istri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu, dan masing-masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika ia murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat: pertama: segera dipisahkan, kedua: ditunggu sampai habis masa iddah.”
Dan disebutkan dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639: “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum si istri digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama, berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi riddah setelah digauli, maka batallah pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan menurut pendapat Imam Syafi'i: ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut Imam Ahmad ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”
Kemudian disebutkan pula pada halaman 640: “Apabila suami istri itu sama-sama murtad, maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad, jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa iddah? Ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i.
Selanjutnya disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan (kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus, pent), karena dengan demikian, agama mereka berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama-sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh pengarang Al Mughni dari segala segi dan aspeknya.
Apabila telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki-laki atau perempuan yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, dan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa seseorang apabila tidak melaksanakan shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.
Hal ini berbeda dengan pernikahan orang-orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian si istri masuk Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu: apabila si suami masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi istrinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya si suami belum masuk Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap istrinya, karena dengan demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, sejak si istri masuk Islam.
Pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam bersama istri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali jika terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti apabila suami istri itu berasal dari agama Majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua, karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.
Masalah ini tidak seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah diuraikan di atas, sekalipun orang itu awalnya kafir bukan karena murtad.
Untuk itu, jika ada seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki-laki itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang baru.

7-   Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.
Bagi pihak istri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah sah.
Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada bahasan pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu:
·      ika si suami tidak mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian itu, maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami istri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat (yang meragukan), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam nasab.
·         Namun jika si suami mengetahui serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang tidak dihalalkan baginya.




PENUTUP


Demikianlah apa yang ingin penulis sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak umat manusia.
Pintu taubat masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat, karena itu, saudaraku se-Islam, segeralah bertaubat kepada Allah ta'ala, dengan ikhlas semata-mata karena-Nya, menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memperbanyak amal keta'atan.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan mereka diganti dengan kebajikan, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al Furqan: 70– 71).



Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kepada kita semua jalan-Nya yang lurus, jalan orang-orang yang dikaruniai ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, Bukan jalan orang-orang yang dimurkai atau orang-orang yang tersesat.

Selesai ditulis oleh:
Al faqir Ilallahi ta’ala

Muhammad bin Shaleh Al Utsaimain
(Rahimahullah)
Pada tanggal 23 Shafar 1407 H.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar